Hati-Hati, Bukan Berarti Takut.
Keadaannya yang menghantarkan kita pada anggapan bahwa sebuah pencapaian hidup akan cenderung terkesan halal, bahkan tanpa lebih dulu menelisik kaidah hak dan kewajiban sebagai individu di hadapan Allah. Apakah kita sudah benar-benar pantas?
Bukan untuk menyalahkan keadaan, justru dengan kecenderungan yang demikian kita diminta untuk lebih peka dan hidup sebagai orang yang berpikir, agar kemudian kita diberikan pemahaman. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memerintahkan kita untuk bersikap demikian?
wa mal-hayātud-dun-yā illā la’ibuw wa lahw, wa lad-dārul-ākhiratu khairul lillażīna yattaqụn, a fa lā ta’qilụn
(QS. Al-An’am : 32)
Artinya: Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?
Tidak sesekali, tapi dalam konteks yang lain pun Allah selalu menyatakan hal yang serupa.
a fa lā ta’qilụn (Maka tidakkah kamu memahaminya?) atau a fa lā tatafakkarụn (Maka apakah kamu tidak memikirkannya?).
Tentu dimensi pembahasannya sangat luas, tapi benang merahnya tampak jelas. Semuanya bermula karena adanya rasa enggan dalam menuntut ilmu Islam. Merasa larut dalam euforia fana, sehingga tujuan hidup yang sebenarnya menjadi bias dan terabaikan. Terkatung-katung entah sampai kapan.
Maksudku hanya untuk saling mengingatkan, bahwa tidak semua pencapaian hidup itu mendatangkan keberkahan. Pada kenyataannya, seringkali warna komunikasi hati tidak cukup masuk akal, sehingga mudah saja untuk kita marginalkan. Jika demikian apa yang kamu anggap lebih penting, keberkahan atau pencapaian?
YH.